Menghindari Anak Menjadi Pelaku ataupun Korban Perundungan

Orang tua perlu mengajarkan sikap berani berkata “tidak” dan “jangan” pada anak. Bondowoso (ANTARA) – Perundungan yang biasanya melibatkan anak-anak remaja atau siswa bukan saja merugikan korban, melainkan juga pelaku yang tidak jarang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan meja peradilan. Dengan status pelaku atau korban adalah siswa bukan berarti mencegah perilaku perundungan ini hanya menjadi tugas sekolah dan tentu saja guru. Semua pihak harus menunjukkan kepeduliannya pada masalah yang bisa menghambat masa depan anak ini. Lingkungan terdekat dan utama dari seorang anak adalah keluarga. Karena itu, orang tua dan anggota keluarga lainnya, harus ikut peduli untuk memutus mata rantai aksi perundungan ini. Guru bimbingan konseling (BK) sekolah menengah kejuruan (SMK) di Bondowoso yang juga fasilitator nasional gerakan berpihak pada anak (Save the Children) Evy Yulistiowati Pramono pada pelatihan mencegah perundungan yang digelar secara daring oleh Omah Guru Inovatif (OGI) mengemukakan bahwa perundungan sebetulnya memiliki “jejak” yang bisa dilacak sejak dari rumah atau keluarga. Artinya, pola pengasuhan di rumah bisa menjadi pintu bagi seorang anak menjadi pelaku atau korban dari perundungan. Dalam konteks sebagai pelaku, biasanya anak memiliki masalah di rumah sehingga mencari pelampiasan di tempat lain atau sekolah. Kajian ini tidak bermaksud membenarkan alasan seorang anak menjadi pelaku, dengan alasan karena di rumah memiliki masalah. Penyebab lain dari sikap anak menjadi perundung adalah karena ingin mendapat kesenangan sekaligus popularitas. Dengan jiwa yang ingin mendapatkan kesenangan dan popularitas ini, mereka cenderung tidak memiliki empati pada penderitaan orang lain, termasuk teman di sekolahnya. Kondisi ini bisa kita kaji kembali ke pola asuh yang kurang bagus di keluarga. Artinya, anak yang mengalami pengasuhan normal sejak kecil tidak akan tega mempermalukan temannya di hadapan orang lain. Bahkan, dengan pola pengasuhan yang baik, sebisanya anak akan melakukan pembelaan terhadap korban perundungan. Sikap ingin mencari popularitas di sekolah juga bisa diduga karena di rumah, si anak kurang mendapat perhatian dan penghargaan. Mereka memerlukan penghargaan di luar rumah dengan cara-cara yang tidak baik. Bahkan, sangat mungkin anak yang di rumah mengalami pengasuhan dengan cara kekerasan akan memiliki rasa dendam pada orang tuanya, kemudian melampiaskan dendam itu kepada teman di sekolah. Sesungguhnya ketika orang tua mengasuh anak dengan cara kekerasan, baik melalui kata-kata ataupun perbuatan, hal itu juga tergolong sebagai perundungan. Karena itu, para orang tua perlu introspeksi bersama-sama dan mengevaluasi diri, apakah kita juga menjadi pelaku perundungan pada anak serta menjadi penumbuh subur sikap yang merugikan orang lain itu. Jika kita menyadari bahwa selama ini kita memperlakukan anak dengan cara yang kurang baik, segera mengubah diri. Tidak ada ruginya jika kita sebagai orang tua meminta maaf kepada anak dan mengakui segala kekurangan selama membersamai generasi bangsa itu bertumbuh, baik fisik, lebih-lebih jiwanya. Ketika minta maaf sudah dilakukan, perlu tekad untuk mengubah sikap selanjutnya pada anak. Memerlukan latihan setiap saat untuk mengubah sikap atau pola pengasuhan pada anak. Mungkin pada awalnya terasa sulit, namun seiring waktu, kebiasaan yang terus dipupuk akan menjadi kebiasaan baru, yang pada akhirnya, bukan hanya anak yang merasakan kebahagiaan atas perubahan sikap orang tuanya, tapi si orang tua juga merasakan hal yang sama. Bagi keluarga muda, termasuk yang akan membangun rumah tangga, beberapa tips pengasuhan bisa dipelajari dan dipersiapkan, sebelum menerima tanggung jawab mulia dari Tuhan untuk menjadi orang tua. Pegangan prinsip yang bisa disiapkan dan dipraktikkan oleh orang tua dalam keluarga adalah, “Anak merupakan titipan Tuhan yang harus kita perlakukan dengan baik”. Anak bukan bawahan yang bisa dengan seenaknya kita perlakukan. Hal-hal praktis yang bisa kita lakukan terhadap buah hati kita adalah menghargai mereka sebagai sesama manusia, yang tubuh dan jiwanya sedang belajar bertumbuh. Orang tua perlu menempatkan diri sejajar dengan anak, sehingga kita tidak bersikap semena-mena kepada mereka. Ketika anak bercerita, seremeh apa pun cerita mereka, orang tua perlu mengapresiasi dengan tulus. Pegang terus prinsip bahwa manusia bertubuh kecil itu ada yang memiliki, yaitu Tuhan, penguasa alam semesta raya. Kalau orang tua tidak menghargai titipan itu dengan tulus, bagaimana kita mempertanggungjawabkan perlakuan kita kepada Si Pemilik? Kalau selama ini kita memegang nilai moral bahwa ada anak durhaka kepada orang tua, maka kita juga introspeksi, jangan-jangan kita juga sudah durhaka pada anak, lebih-lebih kepada yang memberi titipan. Pada dasarnya, Tuhan menciptakan manusia sudah sempurna, termasuk anak-anak yang kita asuh. Kalau mereka menyimpang dari tampilan kesempurnaan, sebagaimana rancangan Tuhan, orang tua perlu evaluasi diri. Perlakuan yang tulus kepada anak dengan memberikan perhatian dan penghargaan kepada mereka juga akan menghindarkan anak menjadi korban perundungan. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh normal akan menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng. Ketika mereka mendapati perlakuan perundungan, dengan tegas mereka akan menghadapi, bukan menjadi anak, yang misalnya, menangis ketika menghadapi perlakuan tidak baik. Anak yang bersikap tegas, biasanya akan disegani oleh pelaku untuk dijadikan objek perundungan selanjutnya. Untuk itu, orang tua perlu mengajarkan sikap berani berkata “tidak” dan “jangan” pada anak. Misalnya, mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari temannya, anak akan mudah berkata, “Tidak boleh bersikap begitu” atau “Jangan bersikap begitu” kepada temannya. Orang tua juga perlu mengembangkan keterampilan sosial kepada anak sehingga mereka mudah diterima oleh teman sebaya dan teman yang lebih tua atau lebih muda. Keterampilan sosial itu, misalnya, berkata, “Minta tolong”, “terima kasih” atau “minta maaf”. Anak juga perlu belajar menghargai orang lain, dengan cara mereka juga mendapatkan penghargaan dari orang tuanya. Anak yang terbiasa dengan perlakuan positif di keluarga akan menjadi pribadi yang dalam pikiran bawah sadarnya layak untuk selalu dihargai, di mana pun dan dalam komunitas apa pun. Pikiran bawah sadar ini, dalam konsep psikologi dikenal sebagai konsep diri. Konsep diri yang bagus pada diri anak akan menyelamatkan anak dari jebakan menjadi pelaku atau korban perundungan. Dengan memperbaiki pola pengasuhan menjadi lebih baik, orang tua juga sudah mendukung program Kemendiknas, yakni “Stop Perundungan”. COPYRIGHT © ANTARA 2023

spot_img

Hot Topics

Related Articles