Puluhan ribu dokter di Korea Selatan melakukan mogok kerja dan bahkan mengundurkan diri dari rumah sakit sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden Yoon Suk Yeol. Aksi protes ini dipicu oleh rencana pemerintah untuk meningkatkan jumlah siswa yang diterima di sekolah kedokteran sebesar 2.000, atau meningkat sekitar 67%.
Asosiasi dokter di Korea Selatan berhasil mengumpulkan sekitar 10.000 dokter resident dari 100 rumah sakit besar. Dari jumlah tersebut, 80% di antaranya telah mengundurkan diri dari rumah sakit sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang juga meliputi keluhan terkait gaji rendah dan jam kerja yang panjang.
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan memberikan waktu hingga Kamis (29/2) bagi para dokter yang melakukan aksi protes untuk kembali bertugas. Mereka yang tetap dalam aksi protes akan dihadapi dengan konsekuensi hukum, namun tidak dijelaskan secara rinci oleh Kementerian Kesehatan.
Salah seorang dokter yang mengundurkan diri, Na, menyatakan bahwa keputusannya untuk turut serta dalam aksi protes adalah karena ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah. Meskipun belum memiliki rencana ke depan setelah mengundurkan diri, Na yakin dengan langkah yang diambil.
Presiden Yoon menyatakan bahwa penambahan kuota pelatihan untuk lebih banyak dokter diperlukan untuk mengatasi masalah kekurangan dokter di daerah pedesaan dan kurangnya jumlah praktisi dengan gaji relatif rendah. Namun, aksi protes dokter ini telah menciptakan kebuntuan dalam sistem kesehatan Korea Selatan, dengan laporan mengenai penolakan pasien di rumah sakit dan penundaan perawatan penting.
Sistem kesehatan di Korea Selatan dikenal dengan layanan yang cepat, murah, dan efisien, namun di balik itu, dokter mengeluhkan jam kerja yang panjang, gaji rendah, dan tekanan kerja yang tinggi. Para dokter peserta pelatihan bekerja dalam shift 36 jam dan dapat bekerja hingga 100 jam per minggu.
Para dokter muda yang masih dalam tahap pelatihan juga dianggap ‘dimanfaatkan’ dengan upah rendah sekitar 3 juta won per bulan. Na menegaskan bahwa dokter muda seharusnya diberi lebih banyak kesempatan untuk pelatihan daripada dipaksa untuk bekerja keras demi keuntungan rumah sakit.
Na, yang tidak ingin diidentifikasi secara penuh karena belum kembali bekerja dan takut akan konsekuensi hukum, berpendapat bahwa sistem keuangan yang buruk membuat rumah sakit mendorong dokter muda untuk bekerja lebih banyak demi keuntungan finansial.