Mereka menganggap ini langkah politik yang kurang tepat. Langkah yang dapat mendowngrade kapasitas Anies sebagai tokoh nasional, bahkan global. Sebagian yang lain malah menuduh kalau Anies hanya melampiaskan ambisinya terhadap jabatan.
Di sisi lain, tidak sedikit juga yang setuju. Bahkan mendorong Anies maju lagi di Pilgub Jakarta. Alasannya, pertama, Anies harus ada panggung pengabdian kepada bangsa dan negara.
Meski pengabdian tidak harus selalu ada di pemerintahan, tapi ketika kebijakan ada di tangan, maka dampaknya buat rakyat akan lebih besar.
Teringat sebuah ungkapan: “satu tanda tangan pemimpin lebih efektif pengaruhnya dari ceramah sejuta agamawan”. Pemimpin punya daya memaksa, sementara agamawan tidak punya.
Berada di luar kekuasaan dan menjadi kritikus itu tidak saja baik, tapi sangat dibutuhkan. Negara butuh oposisi agar ada check and balances. Perlu ada pihak-pihak yang berada di luar kekuasaan, baik parpol maupun tokoh-aktivis, agar selalu bisa mengontrol dan memberi peringatan kepada penguasa.
Tidak ada penguasa yang sempurna. Setiap kesalahan dari penguasa mesti ada yang kontrol dan mengingatkan. Sehingga, tidak lahir kekuasaan tanpa batas, untuk kemudian bertindak semaunya.
Di negara demokrasi tidak boleh ada “otoritarianisme obsolut”. Haram hukumnya. Karena itu, mutlak diperlukan kelompok oposisi.
Ketika bicara dampak, menggunakan otoritas kebijakan akan selalu lebih efektif. Sebab, ada instrumen yang memadai, baik legalitas hukum, struktur maupun fasilitas yang bisa digunakan untuk melakukan eksekusi. Bukan sekedar “omon-omon” kata Prabowo.
Menjadi eksekutor bagi Anies akan lebih besar pengaruh dan manfaatnya dibanding berada di luar kekuasaan. Pilgub Jakarta adalah salah satu jalan yang tersedia untuk menjadi eksekutor.
Anies punya cukup prestasi di ranah ini. Buktinya bisa dilihat hasil karyanya di Jakarta 2017-2022.
Kedua, pengaruh itu perlu popularitas. Dan popularitas akan bertahan jika ada panggung. Anies adalah tokoh yang cukup berpengaruh.
Skill mempengaruhi publik butuh panggung. Dan panggung “Gubernur Jakarta” itu seksi. Karena, setiap langkah gubernur selalu diberitakan oleh media.
Terbukti, sejak menjadi Gubernur DKI 2017-2022, pengaruh Anies mampu menjangkau tidak saja regional dan nasional, tapi juga global. Berbasis pada program dan prestasinya di Jakarta, Anies mampu bicara ke publik tentang logika pembangunan, kemajuan dan perubahan.
Inilah di antara sisi kelebihan Anies. Bicara program Jakarta, tapi disampaikan dalam logika yang lebih luas dan general. Sehingga prestasi Jakarta mampu menjangkau dan diterima oleh masyarakat secara nasional.
Harus diakui, untuk berpikir induktif, Anies memang jagoannya. Anies mampu membuat Jakarta laksana Indonesia. Kesan lokal dan eksklusif Jakarta hilang, yang nampak di mata publik adalah wajah nasional.
Pada akhirnya, publik mengatakan: “Jakarta milik kita semua, seluruh rakyat Indonesia.” Dan apa yang ada di Jakarta bisa diadopsi secara nasional.
Inilah alasan sejumlah orang yang ingin Anies menyempurnakan kinerjanya di Jakarta. Pertanyaannya: apakah Anies akan mendapat tiket untuk bisa maju di Pilgub Jakarta?
Kabarnya, PKS, PKB dan Nasdem sepakat untuk mengusung Anies maju di Pilgub Jakarta. PDIP on progres. Parpol lain, masih dalam wacana.
Meski sinyal dukungan dari PKS, PKB, Nasdem dan bahkan PDIP sudah ada, tidak berati Anies telah aman. Sebelum ketiga atau empat partai itu secara tertulis mengusung Anies, maka belum ada kata aman. Di sinilah peluang untuk jegal Anies masih terbuka.
Nampak ada upaya yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menjegal dan gagalkan Anies maju di Pilgub Jakarta.
Siapa mereka? Pertama, orang yang mau nyagub, tapi gak akan dapat tiket jika Anies tetap maju. Sebab, partai-partai yang diharapkan mengusung mereka adalah partai-partai yang sudah memberi sinyal kepada Anies.
Tokoh-tokoh itu berupaya mendowngrade Anies, baik ke parpol maupun ke publik. Semua sisi kelemahan Anies mulai dibongkar. Kasak kusuk dan lobi sana sini mulai dijalankan.
Kedua, ada media mainstream yang konsisten menyerang Anies. Intensif sejak pilpres hingga jelang Pilgub Jakarta. Beberapa pekan ini, serangannya makin masif. Berita tentang Anies, hampir tidak ada yang positif di media itu.
Bagaimana dengan penguasa?
Anies memang sebaiknya mengubah strategi. Belajar dari Pilpres Februari lalu, Anies lebih tepat jika tidak lagi mengambil posisi berlawanan dengan penguasa. Harus lebih soft. Meski para pendukung mendorong Anies untuk tampil herois dan mengambil sikap perlawanan. Ternyata? Tidak taktis.
Pilpres lalu telah memberi pelajaran berharga bahwa Anies pada akhirnya tidak berhasil menabrak tembok yang begitu tebal dan kokoh. Sebab, penguasa memang punya segalanya. Lepas soal kontroversi etika dan konstitusionalnya. Ini semata analisis politik.
Pilgub Jakarta kali ini, bukan arena battle antara Anies versus penguasa. Fokus Anies adalah bagaimana meneruskan program masa depan Jakarta yang sudah cukup berhasil dirintis sebelumnya. Apa yang dilakukan Anies di Jakarta terbukti telah sukses menjadi inspirasi para pemimpin daerah secara nasional.
Pilgub Jakarta kali ini tidak ada kaitan dengan pilpres. Baik pilpres masa lalu, maupun pilpres yang akan datang. Yang dituntut oleh rakyat kedepan adalah adanya kolaborasi Jakarta dengan pusat.
Gubernur dengan presiden. Karena itu, tidak ada alasan bagi penguasa, baik penguasa lama (saat pendaftaran pilgub bulan Agustus) maupun penguasa baru (saat pelaksanaan pilgub bulan November) untuk ikut cawe-cewe.
Kedua belah pihak, baik cagub maupun penguasa, sebaiknya tidak bersikap genit. Mesti memiliki sikap politik yang proporsional dan profesional.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.