Kisah menarik yang melibatkan seseorang dengan nama besar yang tercatat sepanjang masa terungkap dalam kitab Hilyatul Awliya karya Ahmad bin ‘Abdillah al-Ashbahani. Kisah ini melibatkan sepupu Rasulullah SAW, sayidina Ali bin Abi Thalib, yang kehilangan baju besi kesayangannya. Beberapa hari kemudian, Ali menemukan baju besinya dijual oleh seorang pedagang Yahudi di pasar. Tanpa ragu, Ali langsung mendekati pedagang tersebut dan mempertanyakan bagaimana baju besinya bisa berada di tangan pedagang tersebut. Meskipun terjadi perdebatan, akhirnya keduanya memutuskan untuk meminta keadilan di Mahkamah Pengadilan yang dipimpin oleh Syuraih. Ketika sidang digelar, Ali dengan tegas menyatakan bahwa baju besi tersebut miliknya yang jatuh dan diambil oleh Yahudi tersebut. Namun, Yahudi tersebut membantah dan menyebut baju besi tersebut miliknya.
Syuraih kemudian meminta Ali untuk membawa dua orang saksi yang bisa menjelaskan bahwa baju tersebut adalah miliknya. Meskipun Ali membawa dua saksi, hakim hanya menerima keterangan dari satu saksi dan menolak yang lain. Ali berencana membawa anaknya, Hasan, sebagai saksi namun ditolak oleh Syuraih. Meskipun Ali akhirnya harus melepaskan baju besi kesayangannya karena tidak memiliki dua saksi, Yahudi tersebut akhirnya mengakui bahwa baju besi tersebut milik Ali dan mengembalikannya. Kisah ini menggambarkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam penyelesaian konflik secara tepat. Dalam era post-truth seperti sekarang, di mana kebenaran seringkali diabaikan, kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menyelesaikan masalah dengan bijaksana tanpa memanfaatkan opini publik atau kebohongan.