Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menganggap teror terhadap media massa dan provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden RI sebagai bentuk baru politik intimidasi. Pendiri ISESS dan analis pertahanan serta keamanan, Khairul Fahmi, mengatakan bahwa kedua peristiwa tersebut merupakan ekstremisme politik yang mengganggu demokrasi Indonesia. Menurutnya, Indonesia sedang dihadapkan pada aktor-aktor ekstrem di luar sistem demokrasi yang memanfaatkan ruang digital dan keresahan publik.
Tindakan teror seperti mengirimkan kepala babi ke kantor media massa adalah simbol kebencian terhadap kemerdekaan pers. Sementara provokasi terhadap Presiden di media sosial, termasuk seruan “bunuh presiden,” merupakan narasi kekerasan yang mengancam legitimasi pemerintahan yang sah. Khairul juga menyoroti adanya troll dan akun anonim di media sosial yang menyebarkan provokasi dengan tujuan viral.
Kelompok ekstrem menggunakan kekacauan tersebut untuk melemahkan sistem, dengan upaya merusak kepercayaan masyarakat terhadap media, negara, dan demokrasi. Khairul menegaskan perlunya tindakan untuk mengungkap dan mengatasi ekstremisme tersebut sebelum menjadi preseden buruk yang dapat mengancam pilar demokrasi. Ia juga menekankan pentingnya ketegasan moral dalam menolak intimidasi dan ekstremisme, baik secara simbolik maupun digital.
Demokrasi hanya akan bertahan jika masyarakat menjaga kehormatannya terbebas dari teror dan kebencian. Oleh karena itu, menjaga demokrasi bukan hanya tugas Negara, tetapi juga tanggung jawab kolektif semua pihak, termasuk masyarakat. Khairul menekankan bahwa ekstremisme yang dibiarkan berkembang akan membahayakan demokrasi itu sendiri.