Pemakzulan presiden atau wakil presiden bukanlah sekadar sebuah isu politik, melainkan merupakan sebuah mekanisme hukum yang telah diatur dengan tegas dalam konstitusi. Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang disyaratkan.
Pelanggaran yang dapat menyebabkan pemakzulan antara lain adalah pengkhianatan terhadap negara, praktik korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perilaku yang dianggap tercela. Seorang presiden atau wakil presiden juga dapat dimakzulkan jika dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala negara.
Proses pemakzulan bukanlah hal yang ringan, namun merupakan langkah konstitusional yang harus diikuti dengan tahapan-tahapan formal sesuai konstitusi yang berlaku. Setiap usaha pemakzulan harus didasarkan pada bukti yang kuat dan tidak boleh disalahgunakan sebagai alat politik. Hal ini penting untuk mencegah pemakzulan yang tidak berdasar dan hanya dilakukan untuk kepentingan politik sesaat.