Membangun Kemandirian Pangan dan Energi untuk Masa Depan Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai kedaulatan pangan dan energi di tengah ketidakpastian global. Krisis pangan yang dipicu oleh perubahan iklim, degradasi lahan pertanian, dan ketergantungan pada impor membuat negeri ini rentan terhadap fluktuasi harga dan kelangkaan bahan pokok. Di sisi lain, ketergantungan terhadap energi fosil memperumit upaya transisi menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan. Situasi ini menuntut langkah konkret dan strategi komprehensif agar Indonesia dapat mencapai swasembada pangan dan energi sebagai pilar utama kemandirian bangsa.
Dalam konteks ini, visi Asta Cita Prabowo Subianto hadir sebagai panduan strategis untuk mewujudkan ketahanan nasional yang lebih kuat. Salah satu misinya adalah memastikan ketersediaan pangan dan energi dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki. Swasembada pangan tidak hanya sekadar meningkatkan produksi, tetapi juga mengintegrasikan teknologi modern dan kebijakan yang berpihak pada petani. Pemerintah berencana mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian melalui sistem lumbung pangan di berbagai tingkat—desa, daerah, hingga nasional—dengan target tambahan 4 juta hektare lahan panen pada 2029.
Mewujudkan swasembada pangan bukan sekadar ambisi, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan stabilitas ekonomi dan sosial. Program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian di berbagai wilayah menjadi salah satu solusi yang akan diterapkan secara efektif, terintegrasi, dan berkelanjutan. Komoditas utama seperti padi, jagung, kedelai, singkong, tebu, sagu, dan sukun menjadi fokus utama dalam strategi ini. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada keterlibatan petani, dukungan infrastruktur pertanian, serta jaminan distribusi yang efisien.
Tidak hanya pangan, energi juga menjadi prioritas utama dalam strategi kemandirian nasional. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam energi hijau dunia melalui pemanfaatan sumber daya alamnya. Pengembangan biodiesel dan bio-avtur dari kelapa sawit, bioetanol dari tebu dan singkong, serta energi terbarukan dari angin, matahari, dan panas bumi menjadi bagian dari roadmap besar menuju kemandirian energi. Dengan pemanfaatan teknologi yang tepat, Indonesia optimistis dapat mencapai program biodiesel B50 dan campuran etanol E10 pada 2029.
Transisi dari Energi Fosil ke Terbarukan
Selain swasembada pangan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai swasembada energi di tengah ketergantungan tinggi pada energi fosil. Sumber daya alam yang melimpah belum sepenuhnya dioptimalkan untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam energi hijau dunia. Transformasi ini akan membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi superpower dalam energi baru dan terbarukan (EBT), terutama energi berbasis bahan baku nabati (bioenergy).
Untuk mencapai visi tersebut, tata kelola migas dan pertambangan nasional perlu dikembalikan kepada prinsip dasar yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Konstitusi menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk…
Dalam upaya memperkuat infrastruktur energi, pembangunan kilang minyak bumi, pabrik etanol, serta terminal penerima gas dan jaringan transmisi/distribusi gas menjadi langkah strategis. Infrastruktur ini akan meningkatkan kapasitas produksi dan distribusi energi nasional, sekaligus memastikan ketersediaan bahan bakar bagi kebutuhan industri dan masyarakat. Keterlibatan BUMN dan sektor swasta dalam proyek ini akan mempercepat pencapaian target swasembada energi yang lebih mandiri dan berdaya saing global.
Konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas dan listrik untuk kendaraan bermotor juga menjadi kebijakan yang harus diperluas. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor BBM, tetapi juga menekan emisi karbon yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Peningkatan infrastruktur pengisian daya listrik dan ketersediaan gas alam terkompresi (CNG) menjadi faktor penunjang agar kebijakan ini dapat diterapkan secara luas dan efektif.
Sejalan dengan itu, proporsi energi baru dan terbarukan dalam bauran listrik PLN harus terus ditingkatkan. Dengan memanfaatkan potensi besar dari sumber energi seperti tenaga surya, angin, air, dan panas bumi, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang tidak berkelanjutan. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa ekspansi energi hijau ini tidak hanya berorientasi pada skala besar, tetapi juga mencakup proyek-proyek berbasis komunitas yang dapat memberdayakan masyarakat lokal. Langkah-langkah strategis ini, secara tidak langsung, tentu tidak hanya diarahkan sebagai upaya agar Indonesia mencapai swasembada energi, tetapi juga memposisikan diri sebagai pemimpin dalam revolusi energi hijau global. Sinergi antara regulasi yang mendukung, investasi yang kuat, serta inovasi teknologi akan menjadi kunci utama dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai superpower energi hijau. Keberhasilan transisi energi ini akan membawa dampak besar bagi ketahanan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.