Gencatan senjata antara Hizbullah di Lebanon dan Israel telah disepakati untuk dimulai pada Rabu (27/11) pukul 4 pagi waktu setempat. Kesepakatan ini, yang diajukan oleh Amerika Serikat dan Prancis, menandai berakhirnya pertempuran yang telah terjadi selama lebih dari 14 bulan. Angkatan Bersenjata Lebanon akan dikerahkan ke Lebanon selatan dalam waktu 60 hari, sementara Israel secara bertahap akan menarik pasukannya yang tersisa. Di sisi lain, Kelompok Hizbullah diharuskan untuk memindahkan pasukannya ke utara Sungai Litani. Sejak Oktober 2023, hampir 4.000 orang telah tewas dan lebih dari 16.500 lainnya terluka akibat serangan Israel di Lebanon, dengan lebih dari sejuta orang terpaksa mengungsi.
Pasca gencatan senjata, Tentara Israel memperingatkan warga sipil untuk tidak mendekati 10 desa di Lebanon selatan. Panglima Tentara Lebanon, Jenderal Joseph Aoun, telah melakukan pembicaraan dengan Jenderal Jasper Jeffers dari Amerika Serikat untuk memantau pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan perlunya membangun kembali layanan kesehatan di Lebanon selatan dan timur setelah kembalinya satu juta orang pasca kesepakatan gencatan senjata. Meskipun demikian, Tentara Lebanon telah menuduh Israel melanggar perjanjian gencatan senjata beberapa kali, termasuk dengan melancarkan serangan udara di beberapa wilayah. Di tengah situasi ini, Maskapai nasional Lebanon, Middle East Airlines (MEA), mengumumkan penambahan jumlah penerbangan untuk melayani lebih dari 30 destinasi.
Kesepakatan gencatan senjata antara Lebanon dan Israel telah menciptakan suasana baru, namun tantangan tetap ada dalam memastikan pematuhan terhadap perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak. Seiring dengan berbagai upaya untuk memulihkan kondisi kesehatan dan keselamatan di Lebanon, langkah-langkah konkret harus diambil untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.