Pemberantasan korupsi menjadi fokus utama di Indonesia setelah reformasi 1998. Korupsi, sebagai musuh bersama, merusak fondasi negara dan menghambat pemerintahan yang bersih dan demokratis. Untuk menangani kejahatan luar biasa ini, dibentuk instrumen khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Meski KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) didirikan sebagai langkah penting, kinerja pengadilan ini dinilai menurun.
Salah satu permasalahan yang menyebabkan penurunan kinerja pengadilan Tipikor adalah seleksi hakim. Seleksi hakim di pengadilan Tipikor, terdiri dari hakim karier dan non karier, merupakan tahap penting dalam pembentukan pengadilan ini. Namun, tantangan muncul dalam proses seleksi karena minimnya partisipasi akademisi, seleksi yang berkejaran waktu, kekurangan anggaran, proses rekam jejak yang tidak optimal, dan kurangnya kerjasama dengan PPATK.
Perlu upaya lebih lanjut untuk memperbaiki seleksi hakim dalam pengadilan Tipikor agar kinerja pengadilan ini dapat ditingkatkan dalam menjalankan tugasnya dalam pemberantasan korupsi. Sudah saatnya memastikan integritas dan kualitas hakim yang duduk di pengadilan ini untuk mencapai tujuan bersama dalam memerangi korupsi yang merajalela di Indonesia.