Pada masa Kerajaan Majapahit (1293–1527 M), masyarakat Nusantara belum mengenal cabai merah atau cabai rawit yang menjadi bumbu utama dalam sambal dan masakan pedas. Sebelum cabai modern masuk ke Nusantara, sumber kepedasan utama berasal dari rempah lokal seperti cabe jawa, lada hitam, jahe, dan andaliman. Cabe jawa, meskipun bukan bagian dari famili Solanaceae seperti cabai modern, tetap memiliki karakter pedas yang khas. Cabai modern sendiri pertama kali dibawa ke Eropa oleh Christopher Columbus dan masuk ke Nusantara pada abad ke-16 bersamaan dengan kolonialisasi Portugis di Maluku.
Meskipun cabe jawa telah lama tergeser oleh cabai modern, potensinya dalam industri jamu dan farmasi masih cukup besar. Dengan harga yang lebih tinggi dan manfaat kesehatan yang kaya, cabe jawa masih memiliki ceruk pasar tersendiri. Diperlukan strategi pengembangan yang tepat untuk meningkatkan produksi dan nilai ekonomi cabe jawa di pasar saat ini. Diversifikasi produk, peningkatan akses modal dan kredit bagi petani, serta regenerasi petani merupakan langkah strategis dalam mengembalikan kejayaan cabe jawa di Nusantara.
Meskipun tergeser oleh cabai modern, cabe jawa masih dibudidayakan secara terbatas di beberapa daerah di Indonesia seperti Jawa, Bali, dan Sumatra. Potensi cabe jawa tidak hanya terbatas pada industri jamu dan farmasi, namun juga dalam makanan sehat. Dengan tren kembali ke bahan alami dan jamu tradisional, cabe jawa memiliki peluang untuk kembali bersinar di era modern ini. Namun, tantangan dalam mengembangkan cabe jawa seperti kurangnya modal, inovasi dalam pengolahan, dan regenerasi petani perlu diatasi dengan strategi yang terintegrasi. Selain nilai ekonomi, cabe jawa juga merupakan bagian dari warisan kuliner dan budaya Nusantara yang harus dilestarikan.