Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) merespons kasus tambang nikel di Raja Ampat, Papua, dan meminta industri menerapkan standar pertambangan yang bertanggung jawab atau responsible mining. Pdt Darwin Darmawan, Sekretaris Umum PGI, menegaskan perlunya industri pertambangan menghormati batas daya dukung lingkungan. Darmawan juga menekankan pentingnya prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) agar terwujud kemitraan yang adil dengan komunitas lokal dan masyarakat adat.
Selain itu, PGI juga mendesak industri pertambangan untuk tidak hanya berfokus pada keuntungan finansial jangka pendek, tetapi juga tanggung jawab sosio-ekologis jangka panjang. mereka menyoroti perlunya upaya reklamasi dan restorasi ekologis sebagai bagian dari aktivitas ekstraktif, sebagai bentuk kearifan industrial. Selain itu, penting juga untuk pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih selektif dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kawasan Peruntukan Industri (KPI) di wilayah-wilayah konservasi tinggi dan daerah adat, mematuhi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K).
PGI juga menegaskan tuntutannya agar moratorium penerbitan IUP dan KPI di kawasan dengan kerawanan ekologis dihentikan, terutama di hutan tropis, kawasan danau, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Dukungan diberikan pada program hilirisasi pemerintah, namun dengan penekanan bahwa setiap aktivitas industri ekstraktif dalam konteks hilirisasi harus memperhatikan prinsip keadilan ekologis. Transparansi, keseimbangan ekosistem, keanekaragaman hayati, serta partisipasi aktif masyarakat terdampak juga menjadi poin penting yang disoroti oleh PGI dalam menjaga kelestarian alam dan mata pencaharian.