Waktu menjalankan ibadah puasa, umat Muslim diwajibkan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang bisa membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Di tengah menjalankan ibadah ini, ada pertanyaan di kalangan masyarakat mengenai hukum menelan ingus atau dahak saat berpuasa dan apakah tindakan tersebut bisa membatalkan puasa. Perbedaan pendapat di antara para ulama sering muncul sebagai hasil dari interpretasi dalil dan hukum fiqih yang berlaku.
Dalam mazhab Syafi’i, dijelaskan bahwa hukum menelan ingus atau dahak saat berpuasa tergantung pada situasinya. Jika seseorang mampu mengeluarkan dahak tetapi memilih untuk menelannya kembali setelah mencapai bagian luar tenggorokan, maka puasanya dianggap batal. Namun, jika ingus atau dahak tidak bisa dikeluarkan setelah mencapai bagian luar tenggorokan secara tidak disengaja, puasanya tetap sah. Persoalan ini dijelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar, yang menjadi acuan dalam mazhab Syafi’i.
Perihal mengeluarkan ingus dari dalam tenggorokan ke luar tenggorokan secara sengaja dan kemudian membuangnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Satu pandangan menyatakan tindakan tersebut tidak membatalkan puasa karena hal ini umum terjadi saat berpuasa, sehingga tidak dianggap sebagai pelanggaran. Namun, pandangan lain menganggap perbuatan tersebut bisa membatalkan puasa, karena dianggap mirip dengan mengeluarkan muntah yang jelas-jelas membatalkan ibadah puasa. Semua perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa hukum terkait masalah ini masih dalam pembahasan di kalangan ulama.